Untuk Ulil Albab Yang Jujur
Kelompok Syiah Rafidhah memahami isi khutbah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ghadir Khum sebagai suksesi (pergantian) kepemimpinan dan pengukuhan kekhilafahan Ali Radhiyallahu anhu sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pemahaman ini jelas sekali keliru dan batil apabila kita membaca latar belakang dan isi wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ghadir Khum.
Berikut ini disajikan logika-logika dan keterangan tambahan untuk mengkoreksi serta meluruskan kekeliruan pemahaman kelompok Syiah Rafidhah terhadap hadits Ghadir Khum:
Pertama, Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyampaikan wasiat berupa suksesi kepemimpinan setelah beliau wafat kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu tentu akan disampaikan saat haji, di Makkah, Arafah atau Mina. Jumlah kaum muslimin saat haji lebih banyak dibanding saat berkhutbah di Ghadir Khum. Tidak benar kalau dikatakan bahwa Ghadir Khum sebagai tempat semua para jamaah haji berpisah. Setelah selesai haji, kaum muslimin dari Makkah tetap tinggal di Makkah, yang dari Thaif pulang ke Thaif, yang dari Yaman pulang ke Yaman dan seterusnya. Yang ikut bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Ghadir Khum hanyalah penduduk Madinah atau penduduk sekitar Madinah.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sengaja mengakhirkan pembicaraan topik ini hingga saat pulang ke Madinah dan tidak membicarakannya ketika di Makkah atau pada hari Arafah, menunjukkan bahwa mukhâtab (lawan bicara) perkara ini adalah khusus penduduk Madinah, yaitu mereka yang menyertai Ali dalam peperangan.
Ada sebagian orang berdalih bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya akan menyampaikan wasiat tersebut saat haji, tapi beliau khawatir akan terjadi perpecahan umat atas wasiatnya, lalu turunlah firman Allah di surat Al-Maidah ayat 67. Ini juga keliru, surat Al-Maidah 67 tidak berhubungan sama sekali dengan suksesi kepemimpinan. Sanggahan tentang hal ini telah dibahas sebelumnya.
Kedua, Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberikan wasiat suksesi kepemimpinan kepada Ali Radhiyallahu anhu tentu akan beliau ulang dan sampaikan lagi wasiat tersebut saat beliau sakit sebelum wafatnya di Madinah.
Kelompok Syiah menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat sakit menjelang wafatnya akan menyampaikan wasiat kepemimpinan kepada Ali Radhiyallahu anhu tapi keburu terhalang. Padahal kenyataannya setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan menulis wasiat, beliau masih hidup selama tiga hari. Dalam tiga hari itu beliau berwasiat dengan beberapa wasiat secara lisan dan tidak ada satupun wasiat yang menunjuk Ali Radhiyallahu anhu sebagai Imam. Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak berwasiat untuk menunjuk Ali Radhiyallahu anhu sebagai Imam, maka tidak ada seorangpun yang akan menghalangi beliau. Kenyataannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berwasiat menunjuk Ali sebagai Imam sampai beliau wafat.
Penulis telah menjawab dengan lebih panjang lagi di buku “Kepemimpinan dan Keteladanan Khalifah Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu” Bab 11, Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Sakit, dari halaman 89 sampai 101.
Ketiga, Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menginginkan kepemimpinan umat sepeninggal beliau diserahkan kepada Ali Radhiyallahu anhu mengapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu anhu untuk menjadi imam shalat rawatib menggantikan beliau yang udzur tidak shalat ke masjid Nabawi karena sakit?
Penunjukkan imam shalat ini justru sebagai isyarat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar para sahabat bermusyawarah dan memilih Abu Bakar Radhiyallahu anhu sebagai khalifah sepeninggal beliau.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan marah ketika Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu pernah sekali menjadi imam shalat karena Abu Bakar Radhiyallahu anhu terlambat datang.
Keempat, Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kaum Anshar segera berkumpul di Saqifah Bani Saidah untuk memilih khalifah karena mereka beranggapan yang lebih berhak untuk menjadi khalifah adalah kaum Anshar sebagai penduduk asli Madinah dan jasa-jasa mereka sangatlah besar untuk kaum muslimin. Seandainya ada wasiat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali untuk menjadi khalifah, mustahil kaum Anshar akan berkumpul untuk memilih khalifah dari kalangan mereka.Kaum Anshar adalah kaum yang amanat dan setia kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah kita berani menuduh kaum Anshar berkhianat? Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam justru berwasiat sebelum wafatnya agar umatnya berbuat baik kepada kaum Anshar. Kalau ada orang yang bersangka buruk kepada kaum Anshar dan membencinya maka ketahuilah dia orang munafik. Orang yang bersangka buruk kepada kaum Anshar, dia telah menyakiti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyakiti kaum Anshar dan kaum muslimin semuanya. Bersiap-siaplah di akhirat untuk menjadi musuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan musuh kaum Anshar saat Hari Perhitungan!
Kelima, Para Sahabat Radhiyallahu anhum adalah orang-orang yang jujur, amanat, dan pemberani. Di antara mereka ada Ahlus Shuffah, mereka datang dari luar kota Madinah dan tinggal di masjid. Mereka rela berkorban menahan lapar dan menderita karena sangat cinta kepada Allah dan RasulNya. Di antara para Sahabat adalah orang-orang Muhajirin yang hijrah dari Makkah, meninggalkan keluarga, harta, pekerjaan karena mereka cinta kepada Allah dan RasulNya. Para Sahabat rela merasakan lapar, merasakan goncangan saat perang Ahzab, mengalami luka fisik dan mental, bahkan sebagian dari mereka terbunuh di jalan Allah karena cinta kepada Allah dan RasulNya. Mereka mustahil menyembunyikan wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika beliau berwasiat kepada mereka agar Ali Radhiyallahu anhu menjadi khalifah.
Di antara para Sahabat ada orang-orang yang sangat dekat dengan Ali seperti Fathimah, Abbas bin Abdul Muthalib, Ibnu Abbas, Ammar bin Yasir, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sahl bin Hunaif Radhiyallahu anhum, mustahil mereka diam dari kebenaran, mustahil mereka khianat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mustahil mereka khianat kepada Ali Radhiyallahu anhu.
Bahkan Ali Radhiyallahu anhu sendiri tidak pernah menyebut kalau ada wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuknya menjadi khalifah, karena memang tidak ada wasiat tersebut. Jika seseorang meyakini ada ayat Al-Quran dan wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar Ali menjadi khalifah maka orang tersebut menuduh Ali, keluarganya, pendukungnya, dan para Sahabat sebagai pengkhianat, padahal mereka adalah orang-orang yang amanat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ ۙ أُولَٰئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
“Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam kitab (Al Quran), mereka itulah yang dilaknat Allah, dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat.” (Surat Al-Baqarah: 159)
Keenam, Ali Radhiyallahu anhu adalah seorang pemberani dalam kebenaran. Ali Radhiyallahu anhu berbaiat kepada Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, berbaiat kepada khalifah Umar bin Khathab dan berbaiat kepada khalifah Utsman Radhiyallahu anhum. Ali berbaiat kepada tiga khalifah sebelum beliau, didasari keikhlasan, ketulusan dan keyakinan bahwa ketiganya berhak untuk menjadi khalifah. Seandainya beliau hendak tidak berbaiat pun bisa dan tidak akan diperangi oleh khalifah Abu Bakar atau khalifah Umar. Buktinya ketika Sa’ad bin Ubadah Radhiyallahu anhu, seorang tokoh Anshar, beliau tidak ikut membaiat Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar, keduanya membiarkan dan tidak memeranginya. Dan Sa’ad bin Ubadah Radhiyallahu anhu meskipun tidak membaiat kedua khalifah tersebut, beliau tetap mengakui kepemimpinan mereka berdua bahkan ikut berjihad ke Syam dan wafat di Syam sebagai mujahid di masa khalifah Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu.
Ketujuh, Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu anhu saat sakit menjelang wafatnya, beliau mendiktekan wasiat yang ditulis oleh Utsman bin Affan Radhiyallahu anhu agar sepeninggal beliau hendaknya para Sahabat membaiat Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu menjadi khalifah. Setelah khalifah Abu Bakar Radhiyallahu anhu wafat, wasiat tersebut dibacakan dan para Sahabat membaiat Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu. Apakah masuk akal para Sahabat setia kepada wasiat Abu Bakar Radhiyallahu anhu yang dibacakan kepada mereka setelah wafatnya tapi para sahabat tidak setia kepada wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan kepada mereka saat beliau masih hidup??? Mustahil para sahabat lebih setia kepada Abu Bakar Radhiyallahu anhu melebihi kesetiaan mereka kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para Sahabat Radhiyallahu anhum menghormati, memuliakan, taat dan setia kepada Abu Bakar Radhiyallahu anhu disebabakan kesetiaan, loyalitas dan ketaatan Abu Bakar Radhiyallahu anhu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Masih banyak lagi logika-logika dan dalil-dalil yang membantah syubhat (kerancuan) bahwa Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu memperoleh wasiat untuk menjadi imam sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun penulis pada kesempatan ini mencukupkan pada apa yang dipaparkan di atas.
[Disalin dari Buku WASIAT NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DI GHADIR KHUM, Penulis Fariq Gasim Anuz]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/20111-untuk-ulil-albab-yang-jujur.html